Tulisan ini adalah gabungan dari beberapa cerita yang aku tulis dan kusimpan di laptop. Yang kemudian, pada tanggal 25 Agustus 2018, tulisan ini aku gabung menjadi satu judul cerita yaitu ada yang menanti untukku pulang.
Padang, 05 Maret 2016
Pagi itu, lebih dari 2 tahun yang lalu aku berada di Bandara Internasional Minangkabau. Momen yang sangat berarti dalam hidupku. Bapak, Ibu dan kedua adikku turut mengantarku hingga tiba di tanda perpisahan yaitu pintu masuk. Kami saling berpelukan dan saling menyemangati satu sama lain. Sedih rasanya karena merupakan kali pertama aku berpisah dari mereka dengan jarak dan waktu yang tidak bisa aku bayangkan.
Terasa berat, ketika melihat Ibu meneteskan air matanya. Mengikhlaskan putri tertuanya untuk kembali berjuang menggapai mimpi. Ibu sibuk mengusap-ngusap mata dengan kerudungnya. Kulihat bibir Bapak bergetar dan matanya berkaca-kaca ketika menyampaikan beberapa patah kata sebelum aku memasuki pintu masuk. “Kakak jalan-jalan dulu yaa, jangan rindu, dadah”, seraya melambaikan tanganku. Itulah topeng yang aku pilih, agar aku tidak ikut terhanyut dalam perpisahan pertamaku.
Aku bersyukur, karena mereka memercayakanku untuk berpergian sendiri tanpa perlu ditemani. Yah, aku berangkat seorang diri. Itu bukanlah hal yang menakutkan bagiku. Karena, ada satu hal yang masih berada di podium menakutkan versiku, adalah ketika aku tidak melakukan apa-apa dan membebankan.
Tibalah aku di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, aku harus transit terlebih dahulu sebelum tiba keberangkatanku menuju Kota Jogja. Aku menanti hampir 2 jam lamanya. Dalam waktu yang cukup cepat, kondisi menjadikan aku seorang yang lebih ramah. Penting untuk diterapkan, tidak perlu malu untuk bertanya apabila ada hal yang memang perlu untuk ditanyakan. Ini merupakan pengalaman pertamaku berpergian sendirian. Di bandara yang seluas itu, tidaklah sulit untuk memperoleh informasi. Karena ada orang di setiap sisi, yang berseragam ataupun yang tidak. Kalaupun enggan bertanya, ada internet yang bersedia menjawab. Di jaman sekarang, hal tersebut sangatlah membantu.
Pesawat bermotif batik adalah maskapai yang aku percayakan untuk membawaku terbang menuju kota ini. Aku memilih duduk di dekat jendela. Aku sengaja mengajukan permintaan kepada petugas sewaktu check-in. “Kak, aku request duduk di tepi jendela, kalau masih ada”, harapku. Petugas mengabulkan permintaanku. Aku duduk sesuai dengan nomor tempat dudukku. Aku bertemu orang baru, “mau kemana?”, tanya seorang laki-laki yang sepertinya sedikit tua dariku. Kami tidak banyak bertukar cerita. Aku sibuk dengan kamera smartphone, membidik momenku sepuasnya. Mulutku sibuk mengunyah, menikmati hidangan sarapan yang disediakan maskapai. Tumpukkan majalah juga mencuri perhatian untukku membacanya. Pesawat mendarat dengan lembut. Tampak di sisi kanan, sebuah pesawat usang di lahan kosong sudut bandara. Maskapai yang cukup berjaya pada masanya dan kini sudah tidak beroperasi, Ia yang pertama menyambut kedatanganku di kota ini.
Aku turun, membiarkan senyumku terpancar tanpa aku tau alasannya. Aku begitu bersemangat. Perjalanan yang cukup panjang, hal pertama yang aku cari setiba di Bandara Internasional Adisutjipto adalah toilet, sudah menjadi suatu keharusan. Kemudian, aku bergegas menuju tempat pengambilan barang dan bercengkrama dengan seorang wanita yang sudah memiliki suami dan dua orang anak. Aku mengenalnya saat transit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kami menuju pesawat, turun pesawat hingga ke tempat pengambilan barang bersama. Ibu muda tersebut menawariku untuk mengunjunginya di suatu daerah yang tidak terlalu jauh dari pusat kota, senang bisa mengobrol dengannya.
Setelah barang-barang kembali di tangan, aku mengecek smartphone dan mendapatkan beberapa pesan dari teman lamaku, sebut saja namanya RA dan RI, ”kami sudah di lokasi, dekat pintu keluar, kabari kalau sudah di bandara.” Aku sempatkan untuk membalas pesan dari temanku, mengabari bahwa aku sudah mendarat dan sedang menunggu dua koper dan satu dus ole-ole khas Padang. Aku telah mengabarinya bahwa aku akan berkunjung ke kota ini, jauh sebelum keberangkatan. Mereka sudah bertahun-tahun di sini, hidup sebagai mahasiswa dengan segudang kesibukkan. Ia mengatakan bahwa mereka sudah berada di terminal. Aku memperhatikan sekelilingku dan kulihat ada dua orang lelaki yang tidak terlalu asing bagiku. Secara spontan aku melambaikan tangan dan memancarkan senyumku. Tanpa ragu aku memanggil nama mereka. Mereka membalas senyumku. Aku keluar dan kami saling menghampiri. Sudah delapan tahun kami tidak pernah bertemu dan hanya saling bertukar kabar melalui media sosial. Kemudian, di siang itu kami bertemu, berantusias menanyakan perkembangan keadaan masing-masing. “Wih..makin gendutan kamu, Ran, makan rendang terus”, canda temanku. Kami tidak henti mengobrol. Tidak terlihat seperti terpisah delapan tahun lamanya. Kami terlihat seperti baru bertemu kemarin. Yah, karena tidak ada rasa kikuk di antara kami. Mereka adalah teman di masa kecilku, aku rasa aku mengenalnya dengan baik.
Aku menyusuri perjalanan dari bandara menuju sebuah asrama. Asrama yang diperuntukkan bagi mereka putra-putri daerah. Daerah tempat aku bertemu dunia untuk pertama kali. Daerah dengan pulau yang teramat cantik. Aku terlahir dan dibesarkan di Pulau Belitung. Di sanalah aku bertemu dua temanku itu. Aku bertamu di asrama sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Aku menggunakan motor yang dikendarai oleh temanku. Siang itu, kami menerobos kepadatan kota. Terik mentari perlahan-lahan mengecup kulitku, memaksa menyelinap masuk ke pori-pori. Keringat menyucur, dahaga mengering. Aku sampai di Kota Jogja. Jogja merupakan kota pilihanku. Tidak perlu ada alasan kenapa aku memilih kota ini. Yang terngiang di pikiranku saat itu bahwa Jogja merupakan kota istimewa yang bersampul kesederhanaan. Tunggu, jangan terburu-buru. Aku akan merekam jejak di kota ini.
Menu pertama yang masuk ke perutku adalah Ayam Geprek. Untuk pertama kalinya aku menikmati olahan ayam crunchy yang ditumbuk-tumbuk dengan cabe rawit, sedikit bawang putih dan garam. Wah gila.. bisa-bisanya aku langsung jatuh hati dengan menu ini. Ayam geprek selalu menjadi menu andalanku hingga saat ini. Ini menjadi cerita seruku kepada adik di rumah. “ih..adek pengen coba lah kak”, penasarannya. Aku belum pernah mendengar menu ini di daerah asalku, menu ini masih asing dan tidak se-hits saat ini. Aku mencoba untuk melirik menu lain, tapi kulihat menu lain masih terlalu manis untuk lidah seorang perempuan berdarah Batak dan lama melebur di nagari Minang.
Mereka begitu baik, menanyakan kepadaku apa yang dapat mereka bantu. Mengingatkanku untuk jangan sungkan apabila aku memerlukan sesuatu. Aku tidak ingin selalu bergantung kepada mereka. Seringkali aku berpergian sendiri. Mengingat mereka bersama kesibukkannya dan aku enggan mengganggu. Aku berantusias mecicipi makanan baru, menelusuri jalan dan gang-gang baru. Aku tidak sabar untuk bertemu hari esok. Biarkan aku beristirahat dari hari yang panjang ini. Sebelum tidur, aku sempatkan membuka smartphone. Berselancar di internet untuk menemukan rekomendasi tempat-tempat seru yang ada di kota ini. Beberapa sudah sempat aku tulis di daftar tempat yang akan aku kunjungi.
Asrama yang aku tinggali tidak jauh dari Tugu Jogja. Malam hari di penghujung Minggu, kami memutuskan untuk melihat-lihat suasana kota. Kami berjalan kaki bersama. Menikmati hiruk-pikuk kota, ditemani dengan semangkok Wedang Ronde. Terlihat banyak komunitas yang berkumpul. Ditambah dengan pelancong dari berbagai daerah yang sibuk dengan kamera dan smarthphone-nya.
Pagi hari, temanku menghampiri dan mengatakan bahwa Ia ada urusan ke kampus. “Kalau ada apa-apa kabari saja”, begitu katanya. Aku menyalakan laptop-ku. Membuka website universitas yang akan aku daftar. Berkas pendaftaran sudah aku susun jauh hari sewaktu aku masih di rumah. Jadi, tidak perlu pusing untuk memikirkan berkas. Berulang-ulang, aku membaca informasi tentang universitas maupun program studi yang akan aku daftar. Aku juga membaca ulasan dan tulisan mereka yang sudah berhasil masuk dan menceritakan pengalaman di blog-nya. “Huh, apa aku mampu bersaing dengan mereka, kapasitas kursi hanya 30 dengan peminat yang banyak”, tanyaku.
Tanggal 09 Maret 2016, adalah hari yang istimewa. Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan fenomena ini. Ini adalah waktunya gerhana matahari total menampakkan diri. Gerhana matahari akan melintasi 12 provinsi di Indonesia, tetapi totalitas gerhana hanya terjadi di delapan provinsi, begitu informasi yang aku peroleh dari membaca berita online. Adzan Shubuh berkumandang menandakan panggilan kepada semua umat muslim untuk bangun dan segera mensyukuri berkah kehidupan. Aku bangun dari tempat tidur dan segera mengambil wudhu. Usai berkomunikasi dengan sang pencipta, aku memanjatkan do’a sembari membayangkan wajah kedua orangtuaku, rindu. Aku mengusap pelan wajah dan kepalaku, aku menyemangati diriku. Begitulah caraku meredahkan rindu. Sengaja aku tidak meneruskan tidurku kembali, karena kuatnya ingin bertemu langit. Sayangnya, kota ini bukan menjadi kota yang dihampiri totalitas gerhana. Namun, tetap saja aku beranjak ke luar kamar. Berdiri menegakkan kepala, mengamati langit yang masih berkawankan gelap. Ini menjadi salah satu alasanku menyukai malam, tentang gelap yang membuat benda-benda langit dapat dinikmati keindahannya.
Aku mendaftar di beberapa universitas. Aku mempersiapkan diri dengan mengumpulkan semua materi yang berkaitan dengan bidang psikologi, khususnya psikologi industri. Aku mengikuti tahapan tes yang cukup panjang. Aku mengikuti tes bahasa inggris, tes potensi akademik pascasarjana, tes psikologi, tes keprofesian, wawancara dan leaderless group discussion. Aku menikmati prosesnya. Selama menjalani proses itu, aku bertemu dengan banyak teman seperjuangan dari berbagai daerah. Kami berbagi kontak dan saling menyemangati.
Di suatu pagi, setelah hampir dua minggu menumpang tinggal di asrama. Aku dan temanku berjalan kaki, mencari kost yang akan menjadi tempat tinggalku berikutnya. Aku kesulitan dalam hal ini. Terlalu banyak kualifikasi di benakku. Beberapa hari mencari, aku belum menemukan kamar yang cocok. Banyak alasan, ketika aku suka tetapi tidak ada kamar kosong. Aku suka tetapi harga sewanya terlalu mahal, ya begitulah kira-kira. Akhirnya, aku menemukan tempat tinggal baru. Tidak terlalu besar, cukuplah untukku beristirahat dan sebagai tempat untukku menuliskan kisah. Berlokasi tidak jauh dari asrama dan masih di sekitar kawasan Tugu Jogja.
Pagi-pagi, seperti biasa. Aku keluar ruangku. Bersiap berjalan kaki mencari tempat untuk memuaskan lidah. Terlalu sering aku lupa waktu dan tujuan. Aku berencana hanya akan pergi ke tempat A, alhasil aku juga mengunjungi tempat B dan C. Ketika kaki sudah melangkah, entah berapa tempat yang akhirnya berhasil aku ajak kenalan. Di sebuah persimpangan, aku bertanya kepada Bapak yang sedang duduk di becaknya, “Permisi Pak, saya mau tanya, Indomaret di sekitar sini sebelah mana ya, Pak?”. “Oh nggeh, mbaknya jalan aja lurus nanti sebelah Selatan ada Indomaret”. Waduh dalam hatiku, hal asing kembali menghampiri. Kenapa orang-orang di sini selalu memberikan petunjuk dengan patokan arah mata angin, aku mengoceh dalam hati. Bukankah penyebutan kanan atau kiri lebih memudahkan?, pikirku. “Ma’af Pak, sebelah kiri atau kanan ya Pak?”. “Wah, Mbaknya baru di Jogja toh, di sebelah kanan Mbak”, jelasnya. Aku kembali tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang duduk di bangku becak. Arah mata angin menjadi pelajaran penting yang harus segera aku kuasai.
Hari berikutnya, aku mengunjungi asrama. Temanku mengirim pesan bahwa akan ada acara masak-masak. Memasak makanan khas Belitung. “Nanti dijemput, kalau sudah siap”, katanya. Aku tidak memberikan jawaban, tau-tau aku sudah sampai di asrama. “Lho, kok jalan kaki?” tanyanya. “Sudah gapapa, dekat kok”, jawabku sembari tersenyum. Aku bergabung di dapur, menyiapkan bahan masakan sambil bersendau-gurau dengan penghuni asrama. Ada yang sibuk menghibur dengan memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu jaman dahulu. Menu makan siangku saat itu adalah gangan darat (ayam yang di masak gangan) dan sambal belacan (terasi yang dihaluskan dengan cabai, bawang dan tomat). Rindu akan tempat kelahiranku sedikit terobati. Aku mulai mengasa kembali skill bahasa Belitung. Walaupun, terkadang tercampur dengan logat minang. Maklum, aku sudah bertahun-tahun tidak kembali ke pulau itu.
Aku bertemu dengan hari yang aku tunggu-tunggu. Aku berhasil satu langkah untuk melanjutkan pendidikanku. Kekecewaan menemuiku di awal. Tapi, aku pikir ini adalah tempat terbaik untukku menggali ilmu. Pada bulan September 2016, Aku memulai aktivitas perkuliahan. Sebelumnya, aku mengira kuliah kali ini akan lebih santai dibandingkan pendidikan sebelumnya. Ternyata aku salah besar. Aku bersama dengan 14 orang lainnya. Berasal dari berbagai daerah namun memiliki tujuan yang sama.
Kini, sudah menginjak pertengahan tahun 2018. Aku masih berjuang menyelesaikan pendidikanku. Tapi, tidak di universitas yang aku impikan di awal, melainkan jatuh pada pilihan kedua. Aku sedang menikmati menjadi mahasiswa tingkat akhir dengan segudang tekanan. Aku juga mencicipi posisi sebagai freelancer sembari mengisi waktu luang dan menambah sedikit uang saku. Aku seorang mahasiswi yang semangatnya sering turun dan terkadang mendadak naik. Ibu dan Bapak selalu menanyakan perkembanganku di kota ini, “bagaimana kabar kakak di sana?”. Tak jarang terselip pertanyaan, “kapan kakak selesai?”. Pertanyaan-pertanyaan yang membuktikan bahwa ada yang menanti untukku pulang.
Catatan Motlugynar
Jogja, 25 Oktober 2018





